Puncak di Atas Debur Ombak







Mendakilah, kau akan mendapati hati yang selalu ingin kembali tak peduli seberapa pegal yang kau rasa di kaki. Begitulah kalimat yang saya tulis di postingan saya mengenai pendakian ke prau lebih dari setahun silam. Dan akhirnya momen pendakian dapat kembali saya abadikan dalam tulisan. Tempatnya masih sama, Gunung Prau. Namun kali ini saya bersama delapan orang yang biasa saya temui di kelas saya, XI MIPA 2.

Mereka adalah Akbar, lelaki yang sangat kuat. Samuel, yang mendadak sikap nakal dan jailnya hilang seketika. Rizqi, yang tetap saja konyol dan menyenangkan. Ali, dengan mode gunungnya yang berhasil membuat teman teman saya cinta. Hizkia, chef gunung kita sekaligus peraih tangan tangan yang hampir terpeleset di jalan.  Kemudian ada tiga perempuan kuat yaitu Ara yang menggemaskan, Fiza dengan carrier paling tinggi diantara para perempuan, dan Danis yang suka sekali makan.

Jalur yang kami pilih adalah jalur Dieng Kulon. Jalur ini relatif lebih landai dibandingkan Patak Banteng maupun Kalilembu. Diawali dengan doa dan sedikit pemanasan bersama, kaki kami mulai melangkah memulai perjalanan pada hari Minggu, 8 April 2018 sekitar pukul setengah tiga sore. Kami menikmati perjalanan, sesekali tertawa, bercerita ataupun foto bersama.

Ketika hari sudah mulai gelap, pandangan kami terhalang oleh kabut yang menyergap. Angin yang begitu kencang juga membuat mata kami berulang mengerjap. Beberapa kali saya sempat terpeleset, teman saya juga sempat mengalami kram, namun dalam setiap perjalanan pendakian, pasti selalu ditemui, orang orang ramah dan baik hati. Tak sekedar bertegur sapa dan saling menyemangati, mereka juga banyak menolong kami.

Kami sampai di puncak ketika hari sudah gelap. Kami berada di puncak, namun kencangnya angin menghadirkan suara seperti debur ombak. Cukup lelah rasanya membunuh waktu di trek yang naik turun itu ditemani kencangnya hembus bayu. Para laki laki segera membangun tenda dibantu oleh pendaki lainnya, sedangkan kami para perempuan, langsung duduk lega sambil berpelukan. Saya menengok ke arah langit, kembali saya temukan bintang bintang yang pesona gemerlapnya begitu magis, menghipnotis, dan memandanginya di saat  seperti itu benar benar romantis.

Malam itu begitu dingin, namun secangkir kopi dari pendaki yang membangun tenda di sebelah kami, sepiring indomie yang dimasak anak laki laki walau sedikit terkontaminasi rerumputan, hangatnya obrolan, serta canda tawa, sedikit banyak menghangatkan kami semua disaat salonpas dan sleeping bag tak terlalu bekerja.

Esoknya, usai sholat subuh, sang fajar dengan semburat jingga mempesona yang menghadirkan  indahnya spektrum warna di timur sana, memanggil kami untuk keluar dari tenda. Angin kencang membuat beberapa teman saya keluar tenda masih dengan sleeping bag yang mereka lilitkan di badan. Usai sedikit mengambil gambar, kami semua kemudian berkumpul di tenda laki laki yang kapasitasnya lebih besar. Waktunya sarapan!

Momen paling menyenangkan bagi saya adalah saat itu, ketika kami memasak bersama sambil bercerita dan tertawa. Kami memasak nasi, walau hasilnya tak terlalu kami nikmati karena masih ada beras yang belum sepenuhnya matang. Sup dengan bumbu masako, garam, racik, dan gula. Lengkap sudah micinnya. Kemudian puding yang ditambahkan bubuk energen dan kopi. Untung saja masih ada buah apel dan tahu yang dibawa Ara, sehingga perut kami sedikit lebih bahagia.

Pukul sembilan, kami memutuskan untuk membereskan barang dan bersiap untuk pulang. Usai berdoa bersama, kaki dan punggung kami harus kembali mengencangkan ototnya untuk perjalanan pulang. Kami cenderung lebih santai, banyak berhenti untuk sekedar berfoto maupun istirahat sambil menikmati pemandangan alam yang begitu memanjakan.

Beberapa dari kami merasakan ada yang berbeda dari jalan yang kami lewati ketika sampai di pos dua, rasanya jalanan ini belum pernah kami lewati. Dan benar, kami tersasar. Karena kami mendaki lewat jalur Dieng Kulon, maka seharusnya kami juga turun di jalur yang sama untuk registrasi. Namun kami malah melewati jalur Kalilembu. Memang ada persimpangan yang mempertemukan dua jalur itu, dan kami berbelok di jalur Kalilembu.

Trek di jalan Kalilembu cenderung lebih terjal dibandingkan Dieng Kulon, jalur tersebut juga membuat kami melewati lahan pertanian warga. Kemudian, kaki kami kembali menapak di dataran. Tidak lagi jalanan terjal dan tanah yang beberapa kali basah. Kami sampai di desa Kalilembu di kabupaten Wonosobo. Ternyata, tempat ini lumayan jauh dari basecamp Dieng Kulon, kami harus berjalan lagi menyisiri jalan raya untuk kembali ke sana. Namun tak lama, kami berhasil menaiki kendaraan bak terbuka yang mau menampung kami semua.

Usai makan bersama, kami merenggangkan badan sambil menunggu jemputan di masjid setempat. Senang rasanya bisa kembali dengan selamat. Ditambah pengalaman baru yang sangat berharga. Meski tempat yang saya kunjungi itu sama seperti tahun tahun sebelumnya, namun Prau memberikan kenangan yang berbeda, dengan orang orang berbeda pula. Bahagia bisa mengenal mereka, menciptakan banyak cerita yang akan dikenang sampai nanti kami bertumbuh dewasa dan tua.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tentang Novel Kisah Sang Penandai

A Little Step For A Big Dream

Akses Yang Terlupakan; Realita Jalanan Banjarnegara