Esensi Baru Mendaki Prau








Ini adalah kedua kalinya saya mendaki Gunung Prau,Dieng,Wonosobo. Nafas yang tersengal dan dingin yang menusuk membuat saya benci sekali membunuh waktu yang berlalu di trek trek yang terjal itu. Namun kaki saya tetap saja melangkah. Rasa ragu saya pendam dalam dalam ketika di basecamp. Kala itu hujan dan kabut menyelimuti Dieng. Saya ingin memilih berbalik. Menuju selimut dan dunia serba nyaman di rumah. Namun polemik otak saya akhirnya dimenangkan milyaran sel yang memilih tetap maju. Semesta di depan kelopak mata yang awalnya berkabut pelan pelan mendukung langkah saya. Cerah mulai nampak. Secangkir jahe susu panas yang masih mengepul sedikit banyak menghangatkan tubuh saya. Diawali doa, saya dan dua orang rekan yang sama sintingnya mulai melangkah. Setapak demi setapak. Berulang kali harus berhenti.
Ini pendakian yang sangat berbeda dibanding sebelumnya. Ketika saya masih duduk di bangku kelas 8. Kami berangkat dengan 12 anggota bersama 2 orang pendamping. Yang selalu memastikan kami baik baik saja dan memberikan tangan mereka kala trek terlalu terjal untuk sepasang tangan dan kaki kecil kami. Kali ini tidak. Tidak ada yang memastikan jalan di depan aman. Tidak ada yang membantu membawakan tas. Tidak ada tangan untuk berpegangan. Tapi selalu ada Tuhan. Selalu ada harapan. Dan milyaran sel di tubuh kami yang menyuarakan keyakinan. Dan,selalu ada teman di jalan.
Yang paling saya suka dari mendaki adalah bertemu dengan orang orang baru. Yang ramah dan baiknya bukan main. Bertegur sapa dan saling menyemangati dengan pendaki lain di sepanjang jalan mengembalikan sisa sisa tenaga yang berjatuhan di jalanan yang licin itu. Tawa dan senyum kembali mengumpulkan semangat yang lebur oleh hembus bayu yang lewat itu.
Di tengah perjalanan,kami bertemu tim evakuasi. Mereka membawa pendaki yang terkena hipotermia. Ya,cuaca memang sedang tidak bersahabat kala itu. Bulan juni. Mungkin memang bulan yang identik dengan hujan. Seperti dalam puisi  fenomenal Hujan di Bulan Juni. Sayang,hujan tidak selalu seromantis sajak sajak Sapardi. Atau lagu lagu cinta patah hati. Di gunung,hujan banyak menghentikan langkah kami.
Ketika tinggal rintik,saya dan teman teman melanjutkan langkah. Dengan peringatan dari tim evakuasi untuk berhati hati karena badai sudah terjadi beberapa kali. Dan apabila tidak memungkinkan,lebih baik turun. Ya. Puncak bukanlah tujuan. Kita mendaki untuk pulang. Bukan untuk puncak. Jadi,keselamatan adalah yang paling utama.
Trek paling sulit adalah trek dari pos 3 menuju puncak. Sangat terjal,panjang,dan licin. Saya berjalan sangat lambat. Tertinggal di belakang. Punggung saya telah menahan beban tenda dan lain lain dalam carrier 60 L selama beberapa jam. Melelahkan. Namun saya bersyukur karena kami tidak bertemu badai di tengah perjalanan.
Kami sampai di puncak ketika hari sudah gelap. Tidak ada bintang di prau malam itu. Padahal,saya ingin sekali bertemu. Rindu dengan pesona gemerlapnya yang luar biasa. Tidak ada yang stargazing yang lebih menyenangkan selain di puncak gunung,setelah berlelah-lelah mendaki.
Tenda kami berwarna hijau. Di bangun di samping tenda dua orang pendaki yang sangat baik hati. Namanya Mas Satrio dan Mas Dimas. Mereka yang membantu kami memasak dan mendirikan tenda.
Malam itu begitu dingin dan tidur sama sekali tidak membantu melupakan siksaan berupa dingin yang teramat ini. Salonpas dan minyak kayu putih tidak bekerja dengan baik. Tenda mas Satrio dan mas Dimas masih berisik dengan musik,tawa dan obrolan mereka,serta wangi masakan. Kemudian,mereka memanggil kami untuk makan malam bersama. Kami tolak mentah mentah. Tidak sanggup rasanya bergerak keluar dengan dingin seperti ini. Mereka berkata bahwa makanan akan membuat tubuh kami hangat. Peduli setan dengan makanan. Dibalut sleeping bag saja saya masih kedinginan. Namun salah seorang teman saya yang lapar akhirnya memberanikan diri ke luar. Kemudian meneriaki kami agar ikut ke luar. Katanya,benar benar tidak dingin setelah makan. Akhirnya saya bergabung. Dan benar,obrolan hangat,musik,dan makanan membuat tubuh kami lebih hangat. Teman saya yang masih tertinggal di tenda pun akhirnya memutuskan bergabung.
Mas Dimas dan Mas Satrio adalah pendaki dari Semarang. Mereka sudah berpengalaman dalam hal mendaki. Banyak gunung yang sudah mereka singgahi. Mereka terkejut ketika mengetahui kami masih anak anak kelas sembilan. Bertiga. Perempuan. Tanpa guide. Mereka mengklaim kita hanya datang dengan modal nekat. Well,sebenarnya itu memang benar sih. Kami mengobrol tentang banyak hal sebelum akhirnya kembali ke tenda masing masing untuk tidur. 
Sebagai pendaki proffesional,mereka tidak membawa mie instan seperti kami. Jangan main main. Walaupun laki laki,mereka berdua adalah chef gunung yang seksi. Kami di undang untuk makan malam dan sarapan bersama dengan makanan super enak yang mereka buat.

Ada satu pengalaman yang membekas di benak saya saat di puncak. Pendaki bernama Elang yang kebetulan satu angkatan dengan kami datang untuk meminta air mineral. Kebetulan,air mineral milik rombongan kami masih. Tinggal ½ botol. Kemudian ½ isinya saya berikan kepada rombongan Elang. Saya pikir,perjalanan turun tidak terlalu melelahkan. Sisa ¼ botol ini pasti bisa dihemat untuk kami bertiga. Namun ternyata,hukum kebaikan bekerja. Ketika saya berkeliling untuk membagikan bakwan buatan Mas Satrio,rombongan pendaki lain menawari kami air mineral. Full satu botol 1500 ml. Dan itu lebih dari cukup untuk perjalanan turun kami. Ya. Jangan pernah ragu untuk memberi. Karena percaya pada Tuhan,kau akan mendapat balasan yang lebih baik.
Pagi itu tidak seperti bulan Agustus 2015 yang lalu. Pagi itu kelabu. Hanya beberapa menit matahari sempat membuat tubuh hangat. Sisanya sang surya hanya menghadirkan sinar redup. Hingga tidak lama kabut mulai tampak. Kami pun bergegas untuk pulang.

pasukan kabut kembali datang
Menurut saya,trek turun lebih ringan daripada trek naik yang membuat saya tertinggal. Namun hal itu tidak berlaku bagi salah satu teman saya. Jalan yang sangat licin dan basah membuatnya nampak kesulitan dan berada di belakang. Saat itu saya berpikir bahwa kapasitas setiap orang memang berbeda beda. Kesulitan setiap orang juga berbeda beda. Jadi sangat penting untuk menghargai orang lain. Karena mungkin yang bagi diri kita hal biasa,bagi orang lain adalah luka. Tolong menolong juga sangat diperlukan di sini. Saling menghormati kekurangan dan kelebihan masing masing.
Kaki saya kembali menapak di dataran. Tidak lagi jalan tanah yang terjal. Kami sampai di basecamp dengan selamat. Dengan pengalaman baru yang sangat berharga. Meski tempat yang saya kunjungi itu sama seperti tahun lalu,namun Prau menghadirkan pengalaman yang sangat berbeda.
Dakilah gunung. Kamu akan mendapat sepotong hati yang selalu rindu ingin kembali. Tidak peduli betapa pegal yang kau dapat di kaki. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tentang Novel Kisah Sang Penandai

A Little Step For A Big Dream

Akses Yang Terlupakan; Realita Jalanan Banjarnegara