Tujuh Belas
Sore itu begitu sendu. Gumpalan awan
kelabu menutupi langit yang biru. Senja kala itu hampa. Semburat jingganya pergi entah kemana. Terganti dengan rintik hujan, walau tak begitu deras.
Sedang sedang saja. Namun entah bagaimana caranya, basahnya bisa sampai hingga ke
pelupuk mata. Lalu pada pipi, mengalir begitu saja. Saat itu saya sedang
berjalan pulang sendirian. Seragam putih abu abu saya sedikit basah. Namun saya tak
sempat merasa resah. Dan tetes air hujan, membuat saya tak menangis
sendirian.
Pada sore yang begitu sendu itu, kepala
saya penuh dengan berbagai hal yang tidak perlu. Tubuh yang lelah, hati yang patah,
posisi yang serba salah, dan beberapa hal yang membuat saya resah. Ingin saya ucapkan kepada keadaan, saya ingin menyerah. Segalanya terasa tak mudah.
Esok paginya, ketika fajar tiba dan
spektrum warna cerah mulai memenuhi cakrawala, saya menjadi percaya. Saya percaya,
bahwa apapun resikonya, keadaan sulit akan menguatkan diri saya. Kesalahan akan
mendewasakan, membuat saya belajar untuk tetap berani melakukan hal yang benar.
Jangan dengarkan cecar. Maju! Hadapi! Semua harus dimulai dengan berani!
Pada fajar itu pula, usia saya tepat tujuh
belas. Segala lara pada kemarin sore yang kelabu, menguap bersama dimulainya
hari yang baru. Menyadari kehadiran orang-orang di sekitar saya, membuat saya
yakin masih banyak alasan untuk bahagia.
Bisa jadi saya lupa, hidup akan percuma
bila hanya dihabiskan dengan meratapi lara. Menyanyilah bersamanya. Melangkahlah dengan
riang bersamanya. Bukankah hanya dengan lara, bahagia menjadi bermakna?
Bukankah dengan adanya tangis, senyuman bisa terasa magis? Bukankah manisnya hidup akan terasa setelah kita lelah bertempur bersama luka?
Ya, dunia memang seperti ini. Dunia memang
terkadang memberikan beban berat, maka jadilah kuat. Hidup memang terkadang
rumit. Hadapi dengan tenang agar tak makin pahit. Hidup memang penuh luka
maupun gembira. Bersyukurlah untuk keduanya.
Banjarnegara, 25+1 Januari 2018
Komentar
Posting Komentar